Hal yang sama masih berlaku pada usia balita, atau bahkan di bawah tujuh
tahun. dimana anak-anak pada usia ini akan banyak meniru apa yang
dilakukan orang di sekitarnya, melihat secara konkret yang terlihat dan
masih belum berkembang secara penuh daya nalarnya. Tentu dia akan
melihat dan meneladani apakah orang-orang terdekatnya pada saat ini suka
menolong orang lain, suka membaca/ belajar, dll. Ataukah justru
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang telah tersebut.
Maka apakah ibu sendiri yang akan memberi contoh kepada anak-anaknya
(karena ayah tidak bisa setiap saat melakukannya dikarenakan adanya
kewajiban memenuhi nafkah keluarga), atau ibu akan menyerahkannya kepada
orang lain, khadimat, atau guru di sekolah balita? Menurut hemat
penulis, sebaik-baik guru pada masa ini adalah ibu yang ,mengerti dan
memahami betul kondisi anak-anaknya karena ikatan batin yang kuat di
antara mereka. Bukankah ilmu menjadi lebih menyenangkan dan mudah bila
diajarkan dan diterima dengan kasih sayang? Namun demikian memang
kemampuan seorang ibu dalam mendidik anaknya pada masa-masa balita ini
tentu sangat bervariasi sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Ada yang
menganggap bahwa guru-guru di sekolah balita lebih pintar mengajari
anak-anak kita karena mereka memang belajar ilmunya, bahkan penulispun
beranggapan demikian pada mulanya.
Tetapi sebenarnya kitapun
bisa mempelajarinya (tidak ada alasan bagi ibu untuk tidak mau belajar
mengenai tahap-tahap tumbuh kembang anak dari mulai dalam perut dan
bagaimana cara-cara yang harus ditempuh dalam mempersiapkan mereka jika
tiba saatnya mereka bagi mereka untuk menuntut ilmu yang lebih banyak
dari luar rumah) Jadi apakah muslimah sebagai ibu akan memilih untuk
menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya pada masa (2-7 tahun)
ini dalam proses pendidikan anak-anaknya atau tidak? Sedangkan pada
masa-masa ini kebutuhan mereka akan kasih sayang masih besar dan
komunikasi yang paling efektif dilakukan adalah dengan ibunya sendiri
yang memahami semua tindak-tanduknya, perasaan sedih dan gembiranya?
Bagaimana dengan kewajiban perempuan untuk mengamalkan ilmu yang
dimiliki kepada masyarakat luas/ dunia? Apakah muslimah tidak mendapat
bagian dalam hal ini? Jika pertanyaannya seperti itu, akan mudah
dibalikkan dengan, bukankah mendidik generasi penerus adalah bagian dari
mengamalkan ilmu kepada dunia? Dan inipun sudah dijawab rasul SAW pada
Asma sesuai dengan (HR Ibnu Abdil Bar) pada paragraf pertama di atas.
Fakta ketiga, Tercatat dalam sejarah Islam adanya perempuan-perempuan
dalam masa kepemimpinan Rasulullah SAW dan para kulafaur rasyiddin, yang
berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya:
- Nasibah binti Ka’b (Ummu Ammarah) yang ikut serta dalam perang Uhud, menyediakan minum bagi yang kehausan dan mengobati luka, bahkan dengan gagah berani mengayunkan pedangnya untuk membela Rasulullah, beliau juga ikut berperang dalam perang Khandaq.
- Zainab bint Jahsy yang ikut menggali parit pada perang Khandaq bersama Aisyah dan Ummu Salamah. Zainab juga bekerja menyamak kuliat binatang, dan hasil dari usahanya itu beliau sedekahkan.
- Aisyah binti abu bakar yang terkenal dengan kecerdasan dan kekritisannya, sehingga menjadi rujukan dari banyak hadist Nabi Muhammad SAW.
Demikianlah bila kita cermati ketiga
fakta di atas, yang menunjukkan bahwa perempuan wajib belajar/ mencari
ilmu dan mengamalkannya, bahwa laki-laki yang wajib mencari nafkah dan
bahwa perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui menyiratkan hikmah
peran pentingnya seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya pada awal
kehidupannya, dan fakta bahwa perempuan-perempuan juga bisa berkiprah
dalam kehidupan bermasyarakat seperti contoh-contoh yang disebutkan
dalam sejarah.
Menurut petunjuk para ulama, perempuan dapat melakukan pekerjaan apapun di masyarakat selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama tetap terpelihara.
Bila merujuk HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” Dan juga jawaban Rasulullah tehadap Asma, maka terlihat bahwa rumah tangga dan anak-anak adalah prioritas utama wanita. Dan kesanggupan seorang perempuan untuk membagi waktu dan mengutamakan keluarganya apabila dirinya berkiprah di luar rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Lalu bagaimana sebaiknya?
Menurut pendapat penulis, apabila muslimah berkiprah di luar rumah sebisa mungkin jangan pada masa-masa seorang anak sangat membutuhkan kehadirannya. Hal ini sangat relatif tergantung kondisi masing-masing anak, Pendapat penulis pribadi adalah pada masa menyusui seorang ibu paling baik berada di sisi bayinya, kemudian pada masa-masa dia meniru dan melihat hal-hal secara konkret. Pada masa ini menurut penulis, perempuan tetap bisa berbagi ilmu dan manfaat dari rumah, dengan menuliskan ilmu yang dikuasainya, pendapatnya serta analisanya terhadap suatu permasalahan umat di media-media komunikasi masyarakat.
Apabila kesiapan mental anak-anak kita yang diteladani dan distimulasi dari rumah sudah mulai terbentuk pondasinya, dan kemampuan penalaran anak-anak kita mulai tumbuh, kurang lebih pada umur sekitar 7-10 tahun (pada masa ini anak-anak sudah mempunyai pemikiran kritis dan sudah bisa membaca –setidaknya terjemahan al quran mengenai perintah sholat dan amalan lainnya) dan kita harus mulai memenuhi haknya akan berbagai macam ilmu dengan menyekolahkannya pada sekolah-sekolah yang menurut pertimbangan akal dan nurani kita sesuai dan memenuhi kebutuhannya, maka pada masa-masa itulah para ibu lebih leluasa mengabdikan diri kepada masyarakat di luar rumahnya.
Kembali lagi bahwa kewajiban perempuan untuk membagi diri dan waktunya bila berkiprah di luar rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam pandangan penulis, jika kita tempatkan kiprah kita di luar rumah dalam kerangka besar mendidik anak-anak kita maka itu akan menjadi lebih mudah. Hal ini sangat tergantung pada niat seorang perempuan untuk ikut serta berkiprah dalam masyarakat.
Apakah seorang ibu akan memilih pekerjaan yang memberi tauladan (pendidikan) pada anak-anaknya tentang pengabdian kepada masyarakat? Perempuan mempunyai kelebihan mendidik mengenai hal ini pada anak-anaknya. Perempuan bisa memilih pekerjaan yang menurutnya baik dan aman dari fitnah serta bisa menginspirasi anaknya. Contohnya dengan menjadi relawan yang tidak digaji. Kadang kala laki-laki harus bersabar menerima pekerjaan apapun (bahkan yang tidak disukainya) selama itu halal, karena ada kewajiban baginya menafkahi keluarga.
Bila perempuan memiliki waktu yang lebih banyak untuk menempuh majelis ilmu/menempuh pendidikan yang lebih tinggi, apakah dia akan menggunakan kesempatan ini untuk memberi contoh kepada anak-anaknya tentang kecintaan kepada ilmu pengetahuan? Ataukah dia memilih memberi contoh sebagai orang yang mencari pengakuan tentang kepandaian dan kemampuannya?
Jika seorang perempuan mendapatkan penghasilan sebagai akibat pengamalan ilmunya baik di bidang jasa maupun perdagangan, apakah dia akan memberi contoh dengan menyedekahkan pendapatannya? Atau memberi contoh anak-anaknya dengan membeli baju, tas dan sepatu bermerk atau memegahkan rumahnya? bukankah nafkah diri kita ada di tangan suami dan seorang suami tidak diberi beban melainkan sesuai dengan kemampuannya. Apakah kita tidak merasa cukup dengan nafkah yang telah diberikan suami dengan segenap kemampuannya itu? Bukankah banyak contoh pemimpin kita pada jaman rasul dan kulafaur rasyidin yang tidak kaya, atau lebih memilih untuk hidup zuhud/ sederhana? Kesempatan perempuan dalam mencontohkan kepada anak-anaknya mengenai sedekah kepada orang di luar keluarga lebih banyak karena di dalam penghasilannya tidak ada kewajiban nafkah untuk keluarganya sendiri.
Jika kiprah kita di dalam kehidupan bermasyarakat dapat menjadi jalan untuk memberi pencerahan dan tauladan yang baik kepada anak-anak kita, maka kita mendapatkan DUA kebaikan sekaligus. Bahkan penulis di dalam mengkaji mengenai hal ini menemukan bonus yang menyenangkan apabila kita sebagai perempuan menyedekahkan pendapatan kita sebagai sedekah jariyah, kita akan mendapatkan TIGA hal yang baik. Sebagaimana hadist Nabi yang menyatakan bahwa ada tiga amalan seorang muslim yang tidak akan putus apabila ia mati, ialah amal/sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kedua orangtuanya? Subhanallah,….inikah jalan yang dipilihkan Allah SWT kepada kaum wanita menuju surga-Nya? Wallahu A’lam.
Menurut petunjuk para ulama, perempuan dapat melakukan pekerjaan apapun di masyarakat selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama tetap terpelihara.
Bila merujuk HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” Dan juga jawaban Rasulullah tehadap Asma, maka terlihat bahwa rumah tangga dan anak-anak adalah prioritas utama wanita. Dan kesanggupan seorang perempuan untuk membagi waktu dan mengutamakan keluarganya apabila dirinya berkiprah di luar rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Lalu bagaimana sebaiknya?
Menurut pendapat penulis, apabila muslimah berkiprah di luar rumah sebisa mungkin jangan pada masa-masa seorang anak sangat membutuhkan kehadirannya. Hal ini sangat relatif tergantung kondisi masing-masing anak, Pendapat penulis pribadi adalah pada masa menyusui seorang ibu paling baik berada di sisi bayinya, kemudian pada masa-masa dia meniru dan melihat hal-hal secara konkret. Pada masa ini menurut penulis, perempuan tetap bisa berbagi ilmu dan manfaat dari rumah, dengan menuliskan ilmu yang dikuasainya, pendapatnya serta analisanya terhadap suatu permasalahan umat di media-media komunikasi masyarakat.
Apabila kesiapan mental anak-anak kita yang diteladani dan distimulasi dari rumah sudah mulai terbentuk pondasinya, dan kemampuan penalaran anak-anak kita mulai tumbuh, kurang lebih pada umur sekitar 7-10 tahun (pada masa ini anak-anak sudah mempunyai pemikiran kritis dan sudah bisa membaca –setidaknya terjemahan al quran mengenai perintah sholat dan amalan lainnya) dan kita harus mulai memenuhi haknya akan berbagai macam ilmu dengan menyekolahkannya pada sekolah-sekolah yang menurut pertimbangan akal dan nurani kita sesuai dan memenuhi kebutuhannya, maka pada masa-masa itulah para ibu lebih leluasa mengabdikan diri kepada masyarakat di luar rumahnya.
Kembali lagi bahwa kewajiban perempuan untuk membagi diri dan waktunya bila berkiprah di luar rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam pandangan penulis, jika kita tempatkan kiprah kita di luar rumah dalam kerangka besar mendidik anak-anak kita maka itu akan menjadi lebih mudah. Hal ini sangat tergantung pada niat seorang perempuan untuk ikut serta berkiprah dalam masyarakat.
Apakah seorang ibu akan memilih pekerjaan yang memberi tauladan (pendidikan) pada anak-anaknya tentang pengabdian kepada masyarakat? Perempuan mempunyai kelebihan mendidik mengenai hal ini pada anak-anaknya. Perempuan bisa memilih pekerjaan yang menurutnya baik dan aman dari fitnah serta bisa menginspirasi anaknya. Contohnya dengan menjadi relawan yang tidak digaji. Kadang kala laki-laki harus bersabar menerima pekerjaan apapun (bahkan yang tidak disukainya) selama itu halal, karena ada kewajiban baginya menafkahi keluarga.
Bila perempuan memiliki waktu yang lebih banyak untuk menempuh majelis ilmu/menempuh pendidikan yang lebih tinggi, apakah dia akan menggunakan kesempatan ini untuk memberi contoh kepada anak-anaknya tentang kecintaan kepada ilmu pengetahuan? Ataukah dia memilih memberi contoh sebagai orang yang mencari pengakuan tentang kepandaian dan kemampuannya?
Jika seorang perempuan mendapatkan penghasilan sebagai akibat pengamalan ilmunya baik di bidang jasa maupun perdagangan, apakah dia akan memberi contoh dengan menyedekahkan pendapatannya? Atau memberi contoh anak-anaknya dengan membeli baju, tas dan sepatu bermerk atau memegahkan rumahnya? bukankah nafkah diri kita ada di tangan suami dan seorang suami tidak diberi beban melainkan sesuai dengan kemampuannya. Apakah kita tidak merasa cukup dengan nafkah yang telah diberikan suami dengan segenap kemampuannya itu? Bukankah banyak contoh pemimpin kita pada jaman rasul dan kulafaur rasyidin yang tidak kaya, atau lebih memilih untuk hidup zuhud/ sederhana? Kesempatan perempuan dalam mencontohkan kepada anak-anaknya mengenai sedekah kepada orang di luar keluarga lebih banyak karena di dalam penghasilannya tidak ada kewajiban nafkah untuk keluarganya sendiri.
Jika kiprah kita di dalam kehidupan bermasyarakat dapat menjadi jalan untuk memberi pencerahan dan tauladan yang baik kepada anak-anak kita, maka kita mendapatkan DUA kebaikan sekaligus. Bahkan penulis di dalam mengkaji mengenai hal ini menemukan bonus yang menyenangkan apabila kita sebagai perempuan menyedekahkan pendapatan kita sebagai sedekah jariyah, kita akan mendapatkan TIGA hal yang baik. Sebagaimana hadist Nabi yang menyatakan bahwa ada tiga amalan seorang muslim yang tidak akan putus apabila ia mati, ialah amal/sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kedua orangtuanya? Subhanallah,….inikah jalan yang dipilihkan Allah SWT kepada kaum wanita menuju surga-Nya? Wallahu A’lam.
Rating: 4.5
Reviewer: Jun Junaidi
ItemReviewed: PERAN PEREMPUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN ISLAM