Pendahuluan
“Ku kira coklat, nggak
taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! nggak momo lagi”. Demikian sebuah pernyataan yang
diperankan oleh seorang anak bertubuh tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat
bermerk “Gery Toya-Toya” produksi
Garuda Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional.
Sekilas iklan tersebut biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang
menyerang pesaingnya bernama”Momogi”
kudapan buatan perusahaan lain.
Dilain pihak beberapa iklan di
televisimenampilkan produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit,
yang secara sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga
disuguhkan oleh iklan obat sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan
penyakit tidak sesederhana itu.
Tayangan sinetron
di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi rating sebagian
besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan menampilkan
kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil masyarakat
kita. Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang atau
organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara menyerang
pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi
profesi kotor? Kalau profesi kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak
orang yang menekuninya bahkan bangga dengan itu? Lalu
kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang didominasi
oleh kegiatan bisnis ini (Sony Keraf:2000).
Bisnis modern
merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut mempengaruhi dan
menentukan kegiatan bisnis. Antara lain faktor organisatoris manajerial, ilmiah
teknologis, dan politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan sosial,
bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial bisnis
dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua faktor
yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan
dianalisis melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori
manajemen (K. Bertens:2000)
Etika bisnis
Etika sebagai
praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru
tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi
adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa
yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian
moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika
deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan
pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan
dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua, etika
normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusiabertindak
seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia.
Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan
bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai
untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna
yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan
kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa yang mendasari
para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak
pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan
mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral.
Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan
beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke arah
etika dan moral bisnis. Organisasi
memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan
secara umum.
Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis
pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus hartman:1998)
Alasan mengejar
keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan
bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku tidak
etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan
secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama,
secara moral keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam
kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa
memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan
modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan
perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup
yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan(expansi)
perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.Dalam mitos bisnis
amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan pertempuran.
Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan sasaran
akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara konstan.
Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan yang
harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan dalam bisnis
itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan
bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika bagi
bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?Dalam mitos bisnis
modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional di
bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang kebanyakan,
ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata kinerja
pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis,
manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek
etis.Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen
moral,
integritas moral,
disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan
terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders),
yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan.
Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam melakukan praktik
bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra, merupakan contoh
kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam teori
Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah Hypernorms yang
berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik & kesejahteraan,
partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta, hak-hak untuk
penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia. Kedua, Kontrak
Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan moral, persetujuan
cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan hypernorms,
prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai landasan dasar
komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi, menghormati semua
kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi penduduk lokal,
memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat kerja yang aman
(David J. Frizsche: 1997)
Dalam semua
hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari kejujuran.
Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai didalam bisnis,
keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk melakukan
persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam tiap-tiap kasus
ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam bisnis mempunyai
satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi dan sumber daya
kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan sepanjang
perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para pelanggan
tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada setiap pelaku atau
para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan berlangsung secara
terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang berhasil dalam
masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan atas mutu,
kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)
Etika Bisnis
Islami
Etika bisnis lahir
di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980 an dan menjadi
fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang
membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam
memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu
tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan
tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali
pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar
negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber
penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. Jika kita
menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan
kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam
disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap
penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan
dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah
telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan
dalam posisi yang amat strategis di
tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda
Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu
sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan
itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”.
Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis
Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab
manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam. Kunci etis dan
moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya
Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha
muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang
mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan
membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut,
akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan
moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al
Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka
dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah
kejujuran karena sesungguhnya
kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan
kepada surga” (Hadits). Akhlak yang
lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang
pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi
hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui
batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya,
sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi
orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di
surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits). Sifat
toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan
sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah urusan
jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang
dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap
akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun
sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya”
(QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkanorang dari
kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda
munafik itu tiga perkara, ketika
berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits).
Aktivitas
Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
1. Menghindari
transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam
berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim
tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh
syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha
yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau
mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang
berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe tempat
bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman
dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah
kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari
cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang
menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al
Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan
bisnis yang tidak
transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan
merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh
orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah perbuatan
tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 – 35). Berlebihan
dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya
kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang
karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan
dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang
tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara
yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela
perbuatan tersebut : ”Barangsiapa
yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak
itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan
monopoli itu dilaknat”.
Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar
dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali
dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga
agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah
bersabda : ”Seseorang yang sengaja
melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya
Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari
kiamat”.
4. Pemalsuan dan
penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan
kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah
berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan
sempurnakanlah takaran ketika kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual
maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam bisnis
modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian
pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran
Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a) Penawaran dan
pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual
seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang
memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
b) Iklan yang
tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi,
atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita
dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi
wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya
seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik.
Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita
berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan
menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap
produk mereka.
Model promosi
tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul
karimah’, Islam sebagai agama yang
menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan
dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai
bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang
barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara
dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh,
termasuk ’etika jual beli’.
Etika
Pemasaran
Dalam konteks
etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an
memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan horizontal
(kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini
tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa”.
Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam etika
marketing:
1. Allah memberi
jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an,
sebagai reability product guarantee.
2. Allah
menjelaskan manfaat Al-Qur’an
sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan (petunjuk).
3. Allah
menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci tersebut, yakni
orang-orang yang bertakwa.
Isyarat diatas
sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab marketing
merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil petunjuk
dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka dalam rangka
penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang kita miliki.
Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
Aspek material,
yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.
Aspek non
material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman dalam penyajian.
Bahwa jaminan
terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu diberikan,
disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta ke-Halalan,
ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang kerja yang
ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.
Urutan kedua yang
dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini dijadikan dasar
dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai
manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi dijalankan. Adapun
metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah kepadaku
(berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”. (QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada
kita bahwa untuk meyakinkan seseorang terhadap
kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan, data dan fakta.
Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan fakta sangat
penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh dibanding penjelasan.
Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali memperhatikan
komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang akan dibelinya.
Ketiga adalah
penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki. Dalam hal ini kita
dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan thoyyiban), yang
akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat kepada Allah,
sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus memenuhi tiga
unsur :
Materi yang halal
Proses pengolahan
yang bersih (Higienis)
Penyajian yang
Islami
Etika Marketing
dapat dijabarkan dalam diagram berikut :
Sumber : Islamic Business Strategy for
Entrepreneurship, Tim Multitama Communication, 2007
Perusahaan Menjual Al-Qur’an Al-Hadits Menjamin Kriteria Penggunaan Konsumen Sehat,
Cerdas, Muttaqin Menjelaskan Kegunaan Produksi
Dalam proses
pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya menawarkan barang
dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya mempromosikan
barang dagangannya? Selain sebagai
Nabi Rasulullah memberikan teknik sales promotion
yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau mendapati
seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang janggal pada diri
orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :
”Rasulullah lewat di
depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang tersebut jangkung
sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata; ”Duduklah! Sesungguhnya
kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah mendatangkan
rezeki.” (Hadits).
Dengan demikian
promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik minat calon
pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan produk dilakukan
dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang serasi yang
serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya. Memperhatikan
hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang harus diperhatikan
bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak barang dan
lain-lain.
Kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah profesi yang
terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun
diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan
hal yang merugikan dan mengakibatkan kerusakan bagi
orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala
dliraara” (HR. Ibn Abbas).
Daftar
Pustaka
Bambang Rudito
& Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.
Fritzche David J, 1997, Business Ethics, A Global and
Managerial Perspective, McGraw Hill Companies, Inc.
Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an,
Gema Insani Press.
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics,
Irvin McGraw Hill
Tim Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy
for Entrepreneurship, Zikrul Media
Intelektual.
K. Bertens, 2000.
Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.
Muhammad Dawabah
Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha Muslim, Zikrul Media Intelektual.
Stewart David, 1966, Business Ethic,
McGraw Hill Companies, Inc.
Rating: 4.5
Reviewer: Jun Junaidi
ItemReviewed: Etika Bisnis Dalam Islam