Hari Guru yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 November
mempunyai dua makna. Pertama merupakan pengakuan terhadap
profesionalisme guru. Kedua merupakan refleksi terhadap apa yang telah
dicapai oleh organisasi guru dan individu guru dalam menjalankan
tugasnya, sekaligus merupakan “antisipasi” terhadap langkah yang harus
diambil bagi guru dan organisasi guru untuk menegaskan prefisionalisme
guru ke depan.
Dalam perspektif pedagogis guru merupakan suatu konsep yang
menggambar sosok pribadi mulia yang menjalankan peran mengajar. Dalam
tulisan ini mengajar mempunyai dua arti yaitu transferring dan
transforming. Mengajar dalam arti transferring yaitu “memindahkan”
informasi yang disebut ilmu pengetahuan kepada para siswa yang
diajarnya, sedangkan mengajar dalam arti transforming yaitu menamkan
nilai budaya positif kepada para siswa yang diajarnya. Dalam menjalankan
peran kedua, guru tidak hanya mengajarkan tetapi sekaligus menjadi suri
tauladan bagi siswanya. Kedua peran ini diekspresikan secara puitik
dalam lirik Hymne Guru sebagai berikut:
“Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”
Tentunya saja kita tidak bisa, atau bahkan tidak berhak, menilai
bahwa peran transfering lebih penting daripada peran transforming, atau
sebaliknya peran transforming lebih penting daripada peran
trasnfering. Keduanya mempunyai peran yang setara karena membentuk
keseimbangan antara kompetensi nalar dan kompetensi kepribadian bagi
para siswa. Keduanya terangkum dalam hasil pendidikan yang sekarang ini
menjadi topik pembicaraan yaitu siswa berkarakter.
Dalam konotasi guru seperti yang diketengahkan di atas, maka sosok
guru tidak hanya berarti figur yang berdiri di depan ruang kelas dalam
suatau lembaga yang disebut dengan sekolah, tetapi juga mereka yang
melakukan fungsi mengajar meskipun tidak berada di dalam gedung sekolah.
Mereka adalah tutor yang bertugas mengajar anak-anak yang terdaftar
pada Kelompok Belajar (Kejar) Paket A dan B. Mereka yang mengajar
anak-anak jalanan juga berhak mendapat predikat sebagai guru meskipun
mereka melaksanakan tugas mengajarnya di bawah kolong jembatan. Predikat
guru juga berhak disandang oleh mereka yang mengajar anak-anak dengan
berkebutuhan khusus.
Perbedaan konteks tempat mengajar tidak membedakan predikat mereka
sebagai guru. Hal ini lain menjadikan mereka sama-sama berhak menyandang
predikat sebagai guru karena dua faktor yaitu dedikasi dan
profesionalisme. Dedidasi tidak hanya diukur dengan waktu yang
dicurahkan untuk mengajar, tetapi pada kesetiaan mereka untuk melakukan
peran mengajar.
Profesionalisme secara epistimologis berarti melakukan pekerjaan
sesuai dengan kriteria professi. Profesionalisme guru adalah kompentensi
untuk melakukan tugas mengajar secara efektif. Dalam melakukan tugasnya
guru tidak boleh membedakan siswa berdasarkan agama, suku bangsa, dan
latar belakang ekonomi orang tua. Namun demikian membedakan berdasarkan
minat dan bakat siswa merupakan keniscayaan bagi seorang guru untuk
melakukan tugas mengajarnya. Membedakan berdasarkan minat dan bakat
tidak dianggap sebagai tindakan diskrimantif.
Profesionalisme jabatan guru tidak bersifat statis, tetapi dinamis.
Implikasi dari hal ini adalah guru perlu senantiasa meningkatkan
kompetensinya. Untuk menjaga prefisonalisme, setiap guru harus selalu
mengembangkan kompetensinya. Kapan harus berhenti meningkatkan
kompetensinya?. Pada saat tidak lagi menjadi guru. Pada dasarnya
peningkatan kompetensi tidak ada batasnya, sepanjang masih menjadi guru,
selama itu kompetensi perlu terus ditingkatkan.
Jika kita menyimak media massa, terutama media cetak banyak sekali kritik dilontarkan kepada guru. Dari sudut pandang positive thinking,
lontaran kritik tersebut bukan bersifat pribadi dan bukan ungkapan rasa
benci, tetapi sebaliknya justru karena penghargaan terhadap profesi
guru. Anggota masyarakat justru merasa bahwa peran guru yang sangat
startegis untuk menghantarkan generasi sekarang ke masa depan bangsa
yang lebih cermerlang.
Tahun 2045 merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Pada
tahun itu, bangsa Indonesia tidak hanya merayakan 100 tahun terbebas
dari penjajahan, tetapi Bangsa Indonesia juga dengan lantang menyatakan
kemandiriannya baik secara ekonomi maupun politik. Generasi yang
sekarang, terutama yang berada pada jenjang pendidikan dasar, akan
menjadi generasi yang memimpin pada tahun 2045. Mereka menanti uluran
tangan guru profesional untuk berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain.
Selamat ulang tahun Bapak dan Ibu guru, Jasamu tiada tara.
Rating: 4.5
Reviewer: Jun Junaidi
ItemReviewed: Makna Peringatan Hari Guru
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah mengirimkan komentar