Alkisah, ada seorang lelaki yang tinggal di sebuah desa di daerah
Sumatra Barat bernama Lebai. Sesungguhnya Lebai itu bukan nama. Di
masyarakat kita Lebai itu adalah jabatan atau profesi, yaitu orang yang
biasanya menikahkan orang. Bisa saja dia juga adalah guru ngaji. Tetapi
dalam ceritera ini Lebai adalah nama orang. Tokoh ceritera rakyat yang
berkembang dari mulut ke mulut.
Rumah sang Lebai berada di pinggiran sebuah sungai antara dua desa
yang padat penduduknya, satu di sebelah utara dan yang satu lagi di
sebelah selatan sungai Dia juga adalah guru ngaji di kampungnya yang
cukup dihormati. Dan oleh karena itu apabila ada hajatan atau kenduri
alias pesta di kampung, sang Lebai selalu mendapatkan undangan
kehormatan.
Pada suatu hari ada dua keluarga kaya, yang satu penduduk di desa
sebelah utara dan yang satu lagi di sebelah selatan sungai, mengadakan
selamatan pada hari dan jam yang sama. Orang-orang kaya dan terpandang
serta orang-orang miskin di kampung sekitar diundang seluruhnya. Sebagai
guru ngaji yang pada saat itu figur seorang guru ngaji sangat dihormati
di masyarakat, sang Lebai mendapatkan undangan dari kedua keluarga
tersebut.
Di hari pesta itu pada pagi yang cerah, sang Lebai dandan dengan
pakaian yang terbaiknya untuk memenuhi undangan dari kedua keluarga itu.
Setelah itu ia sendiri bersiap menuju kendaraan kesayangannya yaitu
sebuah perahu kecil sebagai alat transportasi yang cukup praktis dan
hemat untuk penduduk di pinggir sungai. Ketika berjalan menuju
perahunya, ia belum bisa memutuskan undangan mana yang harus
didahulukan, ke utarakah yang berarti hulu sungai atau ke selatankah
yang berarti ke hilir.
Sambil berjalan menuju perahu, sifat rakusnya muncul di benaknya. ”Ke
hulu sungai, paling dekat dan masakannya enak cocok dengan selerku,
tetapi keluarga ini hanya memotong seekor kerbau. Lagipula keluarga ini
kurang mengenalku. Dan karenanya jangan-jangan mereka kurang
menghormatiku,” bisik hatinya sendiri. Menurut adat istiadat penduduk di
desa itu, kehormatan ditunjukkan dengan menyiapkan kepala kerbau untuk
dihadiahkan kepada orang yang dihormati, dan biasanya sang guru ngaji.
”Sebaliknya, penduduk desa selatan di hilir sungai cukup mengenalku,
Cuma agak jauh dari sini. Keluarga ini memotong dua ekor kerbau. Berarti
aku akan memperoleh dua kepala kerbau, namun sayang masakannya nggak
enak,” pikir sang Lebai. Sambil berjalan dia terus menimbang-nimbang,
”ke utarakah atau selatankah?”
Akhirnya dia memutuskan, ”ke utara sajalah dulu, yang paling dekat,
sehabis itu baru aku ke selatan.” Dan iapun mendayung ke arah hulu
sungai. Banyak sekali perahu yang sama-sama mmenuju ke sana dan banyak
pula yang berpasan menuju arah sebaliknya. Orang-orang berpakaian
indah-indah dengan semangat berpesta nan gembira, bernyanyi, saling
menyahut dan melambaikan tangan satu sama lain. Siapapun yang
menyelenggarakan pesta di kampung itu selalu dijadikan ajang pertemuan
sesama warga kampung, seluruh warga dalam aura pesta.
Ketika sang Lebai baru berkayuh dua kelokan, dan tinggal setengah
jalan lagi ke tempat pesta, dia berobah pikiran, ”Sayang sekali pesta
begitu besar kok bareng-barengan. Kenapa aku mesti ke utara ? Di sana
hanya satu kepala kerbau. Kenapa aku tidak ke selatan lebih dulu ? Di
sana ada dua kepala kerbau, tambahan lagi orang-orang di sana lebih
mengenal aku. Jadi aku pasti mendapatkan kehormatan besar di sana.
Apalagi menurut orang-orang, di sana para tamu selalu dibagi uang dan
bermacam-macam hadiah.”
Tanpa banyak pertimbangan lagi sang Lebai memutar balik haluan
perahunya. Ketika ia hampir sampai di tempat tujuan, ia banyak
berpapasan dengan orang-orang yang berkayuh menuju utara.”Hai, pak Lebai
mau ke mana ? Kita semua mau ke utara ,” sahut mereka bareng-bareng.
”Mereka benar,” pikir Lebai. ”Mengapa aku harus ke selatan kalau di
sana hanya motong kebo kurus ? Katanya masakannya nggak enak, tentu
tidak bisa memuaskan seleraku.” Dengan cepat dia balikkan perahunya ke
utara lagi dan dia mengayuh sekencang-kencangnya. Tetapi ketika ia
sampai di tempat tujuan, ia melihat orang-orang sedang menuju pulang.
Ia ingin tahu kenapa, dan sang Lebai dapat jawaban, ”pestanya sudah
selesai, mendoapun sudah selesai.”
Lebai malang ! Hilanglah sudah kepala kerbau yang diharapkannya.
Baginya tak ada lagi yang lebih baik dilakukannya adalah balik lagi ke
selatan. Barangkkali di sana pestanyna belum selesai, masih ada harapan
untuk mendapatkan dua buah kepala kerbau, hadiah uang dan
bingkisan-bingkisan lainnya walaupun makanannya tidak enak.
Hari sudah siang, matahari sudah naik dan Lebai itu berkeringat serta
kelelahan. Tapi ia tidak memperdulikannya. Ia masih belum kehilangan
harapan. Iapun mendayung ke arah selatan dengan sisa-sisa tenaganya.
Lapar dan haus sangat mengganggunya. Namun ia tidak perduli pula.
Ternyata di selatanpun pesta sudah bubar. Ingin ia berteriak karena
kecewa. Sekarang, hilanglah sudah harapan. Kepala kerbau, uang dan
hadiah-hadiah lain yang diharapkannya lenyaplah sudah. Akhirnya dia
mengutuk dirinya sendiri, ”mengapa aku terlalu rakus.”
Pulanglah sang Lebai ke rumahnya. Untuk mengganjal perutnya ia
membuka tempat nasi. Di sana ada sebungkus nasi dingin dan sepotong
ikan. Lalu ia berpikir, ”ah lebih baik aku mancing sekarang. Kalau dapat
ikan akan aku jual dan uangnya dibelikan daging. Kalau tak dapat ikan
aku akan berburu rusa, untuk mendapatkan daging.” Pergilah dia
memancing dengan berbekal sebungkus nasi dingin dan seperangkat alat
pancing, tak lupa anjing setianya dibawa pula.
Sampai di tempat memancing, mulailah dia memancing.Namun tak ada
seekor ikanpun yang nyangkut di kailnya. Ia lapar, dan dibukalah
bekalnya. Ketika mau menyuap, lauk yang dibawanya jatuh ke kali. Diapun
mencoba meraihnya, namun byur.. dia kecebur kali. Dia tidak berhasil
meraih lauk yang jatuh itu. Ketika dia naik ke perahunya, nasinyapun
habis dimakan anjingnya.
Lebai Malang ! Hari kemujuran sedang tidak berpihak kepadanya. Ia
berbisik kepada dirinya sendiri, ”Kalau orang lain berpesta pora dengan
makanan-makanan yang enak dan membawa pula oleh-oleh, hari ini bagiku
berakhir dengan kemalangan.” Dengan segala kesedihannya ia menyadari
bahwa seharusnya ia tidak berharap terlalu berlebihan. Kemudian
orang-orang di kedua desa itu mendengar apa yang terjadi kepada sang
Lebai. Sejak itulah ia dijuluki Lebai Malang, dan jadilah ceritera
rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut di tengah-tengah masyarakat.
Rating: 4.5
Reviewer: Jun Junaidi
ItemReviewed: Cerita Rakyat : Lebai Malang