Paradigma kecerdasan mana yang harus kita pilih? Selain kecerdasan IQ juga
ada Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). EQ dimunculkan oleh
Daniel Goleman. Goleman melihat bahwa kecerdasan intelegensi tidak terlalu
menentukan pada diri seorang siswa. Akan tetapi emosilah yang banyak
menggerakkan siswa untuk sukses.
Pasca kedatangan Goleman, datang juga Ian Marshall dan Danah Zohar. Dalam
bukunya Spiritual Quotient, dosen Oxford dan Harvard itu mengkirik kecerdasan
EQ. Menurut keduanya-berdasarkan analisis selama beberapa tahun- mereka
menemukan kecerdasan baru yang namanya spiritual. Hal ini diperkuat lagi dengan
kajian Michael Persinger serta temuan dari Prof. V.S. Ramachandran yang
menunjukkan dalam diri manusia ada alat yang bisa merasakan nuansa mistik. Alat
itu dinamakan ‘god spot.’ Oleh Marshall dan Zohar, alat tersebut lebih dimaknai
secara material. Dan keduanya menolak kecerdasan spiritual dikaitkan dengan
agama tertentu.
Kajian ini membawa berita gembira di kalangan pendidik islam. Artinya dengan
demikian, bahwa seharusnya sistem pendidikan di negara kita menekankan juga
unsur spiritual. Tidak semata-mata kajian yang mengasah otak. Juga emosi dan
spiritual. Namun pertanyaan penting terkait dengan hal ini: apakah konsep ini
bisa diadopsi dalam sistem pendidikan hari ini?
Unsur spiritual mana yang akan dipakai nanti secara nasional? Apakah Islam,
Kristen, Budha, Hindu, aliran kepercayaan atau nilai-nilai universal dari tiap
agama sebagaimana sering didengungkan Jaringan Islam Liberal (JIL)? Inilah yang
belum terjawab. Begitu juga dengan penemuan Ary Ginanjar Agustian. Kang Ary
-begitu biasa disapa- mengarang buku bestseller Emotional Spiritual Quotient
(ESQ) yang mengacu pada 5 rukun islam dan 6 rukun iman. Dalam konteks sistem
hari ini, sisi mana dulu dalam pendidikan yang harus direkonstruksi?
Untuk itu, hal yang perlu kita lakukan untuk merekonstruksi sistem
pendidikan hari ini adalah dengan penggantian kurikulum. Jika selama ini
kurikulum lebih menekankan pada latihan otak, maka perlu dilatih juga dalam
bidang rohani. Kalau perlu untuk pendidikan tinggi kajian moralitas dan
keagamaan ditingkatkan lagi sks-nya. Mengganti kurikulum memang perlu proses.
Dan perlu kajian intensif yang lebih dalam lagi dengan melibatkan banyak
kalangan.
Selanjutnya, perlu ada ‘kejujuran intelektual’. Selama ini ada saja
manipulasi intelektual demi meraih kepentingan tertentu. Contohnya di Inggris
lewat penemuan tempurung kepala manusia purba di Piltdown. Ketika itu, batok
kepala ini dianggap sebagai nenek moyangnya Inggris. Dan dipamer selama kurang
lebih 40 tahun di British Museum. Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa penemuan
itu adalah ‘penipuan intelektual.’ Menurut Harun Yahya -intelektual Turki-
kasus ‘manusia piltdown’ adalah kasus penipuan terbesar kaum Darwinis. Begitu
juga dengan teori evolusi Darwin. Dalam kurikulum, teori ini dianggap benar.
Karena didukung oleh data ilmiah. Padahal, penemuan terbaru membuktikan bahwa
teori itu salah dan menyesatkan. Hal ini diakui sendiri oleh intelektual barat.
Anehnya lagi, teori ini masih dianggap benar oleh orang tertentu. Dan
disebarkan. Sebagai bahan kajian, bolehlah dikaji, tapi untuk diyakini
kebenarannya kan perlu pembuktian. Dan memang teori ini sudah runtuh! Ada yang
mau dianggap keturunan kera?
Rating: 4.5
Reviewer: Jun Junaidi
ItemReviewed: Paradigma Kecerdasan
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah mengirimkan komentar